tirto.id - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai kurang tepat jika pemberian gelar Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Bapak Pembangunan Desa berpatokan pada dana desa yang telah digelontorkan pemerintah.
Diketahui dalam empat tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan dana desa dengan total anggaran Rp187 triliun.
Menurutnya, harus ada tim khusus yang objektif dalam menilai apakah Jokowi layak diberikan gelar sebagai Bapak Pembangunan Desa. Seperti Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) atau organisasi lainnya.
"Dari kalangan akademisi yang profesional dan tidak memihak [menilai layak] memberikan Jokowi gelar tersebut. Jadi kesannya agar tidak politis dan objektif," ujarnya kepada Tirto, Rabu (20/3/2019).
Sehingga kata Ujang, jika pemberian gelar tersebut diberikan oleh akademisi yang profesional, menjadi legitimasi yang kuat bagi Jokowi. Baik saat ini, maupun di masa yang akan datang.
Asalkan lanjut Ujang, pemberian gelar tersebut bukan keluar dari permintaan pihak Istana Negara.
"Pasti ada lembaga yang memberikan gelar itu. Tapi kan enggak mungkin Istana memberikan gelar itu," terangnya.
Meskipun program tersebut belum mampu menurunkan angka pengangguran di pedesaan.
Namun, Ujang meminta kekurangan tersebut harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah ke depan.
"Dalam konteks ini, apapun kekurangannya harus dipermak sedemikian rupa, agar menjadi strategi kampanye incumbent," pungkasnya.
Presiden Jokowi diberikan gelar Bapak Pembangunan Desa oleh Badan Koordinasi Nasional Pembangunan, Pemerintahan, Pemberdayaan dan Kemasyarakatan Desa.
Dalam empat tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan dana desa dengan total anggaran Rp187 triliun. Namun, program ini belum bisa menekan jumlah pengangguran di pedesaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di desa pada Agustus 2018 justru naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya.
Ini menjadi ironis lantaran pemerintah terus menggenjot kucuran dana desa, yang awalnya hanya Rp20,77 triliun pada 2015 menjadi Rp60 triliun pada 2018.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Nur Hidayah Perwitasari